Tiga puluh lima tahun yang lalu yaitu pada 14 Maret 1980 Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama RI Dr. H. Mohammad Hatta berpulang keharibaan Allah SWT. Duka bangsa melepas kepergian Bung Hatta tercermin dalam lirik lagu Iwan Fals: “Tuhan, terlalu cepat semua. Kau panggil satu-satunya yang tersisa. Proklamator tercinta. Jujur lugu dan bijaksana. Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa rakyat Indonesia. Hujan air mata dari pelosok negeri. Saat melepas engkau pergi. Berjuta kepala tertunduk haru. Terlintas nama seorang sahabat. Yang tak lepas dari namamu. Terbayang baktimu. Terbayang jasamu. Terbayang jelas jiwa sederhanamu.”
Bung Hatta lahir di Bukittinggi Sumatera Barat tanggal 12 Agustus 1902. Sejarah mengabadikan namanya sebagai pejuang rakyat, pemimpin bangsa yang berjiwa besar, demokrat sejati, pemikir dan negarawan utama Indonesia. Suri tauladan yang amat disegani dalam menegakkan kebenaran, kejujuran, keadilan, nilai kemanusiaan dan selalu memegang teguh prinsip-prinsip perjuangan. Sepanjang hidupnya Bung Hatta mengabdi pada cita-cita perjuangan bangsa, sehingga Prof. Dr. Deliar Noer menjulukinya “hati nurani bangsa” (conscience of nation).
Pada suatu hari tulis wartawan senior Rosihan Anwar dalam buku Bung Hatta Pribadinya dalam Kenangan (1980)-saya bertanya: Apakah Bung pernah membayangkan bahwa Indonesia Merdeka yang Bung perjuangkan dahulu itu jadinya akhirnya akan seperti begini? Bung Hatta tidak menjawab dan matanya tampak sedih.
Meskipun Bung Hatta telah tiada, tapi cita-cita perjuangan dan pemikirannya sebagai founding fathers negara tidak akan mati. Masalah kedaulatan rakyat, demokrasi, ekonomi, koperasi, dan tema-tema besar pemikiran Bung Hatta lainnya tetap relevan dengan keadaan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia di masa kini.
Semenjak mudanya Bung Hatta memperjuangkan nasib rakyat supaya terbebas dari penjajahan, kemiskinan, ketimpangan sosial dan penguasa diktator. Menurut Bung Hatta di dalam buku Ekonomi Terpimpin (1979): “Negeri belumlah makmur dan belum menjalankan keadilan sosial, apabila fakir miskin masih berkeliaran di tengah jalan dan anak-anak yang diharapkan akan menjadi tiang masyarakat di masa datang, terlantar hidupnya.”
Di dalam risalah llmu dan Agama (1980) Bung Hatta mengemukakan, “Kita bandingkan negara kita dengan negara Barat, mereka tidak mempunyai Pancasila, tapi mereka melaksanakan apa yang dinamakan keadilan sosial itu. Di negara Barat, kalau ada orang sudah berumur 65 tahun sekalipun ia petani, pegawai, bankir, atau apa saja, dia diberi pensiun oleh negara, sebab bagaimana pun dia dianggap berjasa bagi masyarakat. Kita membiarkan orang terlantar, tidak bisa hidup secara baik. Inilah cara kita menjalankan agama kita. Hendaknya ini dijalankan secara baik.”
Dalam ceramah bertema “Islam dan Pembangunan Masyarakat” yang diadakan oleh Badan Kontak Organisasi Islam di Jakarta tahun 1958, Bung Hatta menegaskan, “Islam menghendaki masyarakat tolong menolong, masyarakat yang didasarkan kepada sifat yang terpuji di mata Allah, masyarakat yang berdasar kepada kasih sayang dan keadilan, masyarakat yang melaksanakan keadilan Ilahi, keadilan sosial.”
Di dalam beberapa karangan dan pidatonya Bung Hatta menyinggung kewajiban membayar zakat dalam Islam. Pada pidato Dies Natalis Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 1970 yang dihimpun dalam buku Membangun Ekonomi Indonesia (1985) Bung Hatta mengutarakan: “Pemerintah Republik Indonesia sampai sekarang belum sanggup melaksanakan penetapan pasal 34 UUD 1945, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Apabila ada sekiranya peraturan yang tepat untuk menampung dan menjuruskan penerimaan uang zakat yang wajib bagi penduduk Indonesia yang beragama Islam membayarnya, maka sebagian besar dari tuntutan pasal 34 UUD 1945 itu sudah dapat terlaksana. Sebagian dari uang zakat dapat pula sebenarnya dilekatkan untuk membangun sumber-sumber produksi, yang dapat memberi pekerjaan kepada rakyat yang menganggur dan hasilnya dapat pula dipakai untuk penduduk miskin yang berhak menerima zakat.”
Bung Hatta berpendapat perlunya dibuat “peraturan yang tepat untuk menampung dan menjuruskan penerimaan uang zakat yang wajib bagi penduduk Indonesia yang beragama Islam membayarnya”. Hal tersebut sejalan dengan pelaksanaan semangat Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menjiwai Proklamasi. Dengan demikian, menurut hemat saya Bung Hatta termasuk salah satu tokoh pencetus ide perundang-undangan zakat di Indonesia.
Di dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) Bung Hatta mengemukakan, “Pada waktu itu kami menginsyafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Menurut beliau, hal-hal mengenai syariat Islam yang berhubungan dengan kepentingan umat Islam dapat diajukan ke DPR untuk diatur dalam bentuk undang-undang.
“Pembagian zakat menurut Bapak Koperasi Indonesia itu harus sepanjang tahun, sepanjang waktu. Itu yang kita masih kurang. Janganlah hendaknya barang yang akan dibagikan tadi itu lebih banyak tinggal pada orang yang akan membagikannya. Agama menguntukkan zakat itu bagi orang yang miskin dan hendaknya sampai kepada umat yang miskin itu.”
Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh M. Fuad Nasar
Wakil Sekretaris BAZNAS
Sumber : pusat.baznas.go.id