Zakat dan Transformasi Konsep Sedekah

March 5, 2014
Artikel

sedekahDalam buku Keadilan Sosial Dalam Islam (1950) Hamka mengulas mengenai zakat dan sedekah. Zakat ialah pensucian hati dari penyakit bakhil yang sangat membahayakan pertumbuhan jiwa dalam masyarakat dan mensucikan masyarakat dari tumbuhnya pertentangan antara yang punya (the have) dengan yang tidak punya (the have not). Di samping itu zakat menunjukkan adanya kekuasaan masyarakat atas harta orang yang mampu. Oleh karena itu zakat diambil dengan kekuatan undang-undang dan tidak hanya diserahkan kepada yang punya harta.

Selain zakat yang disebut sebagai “kewajiban kenegaraan”, Hamka dalam bukunya itu menyebut pintu pertalian lainnya dengan masyarakat, yaitu sedekah yang tidak ditentukan hitungannya. Membicarakan siasat harta dalam Islam, tidaklah semata-mata mendesak orang kaya supaya mengeluarkan zakatnya. Zakat adalah batas minimum. Kata Hamka, “Bertambah tinggi derajat Iman, bertambahlah manusia tidak memandang mahal hartanya lagi. Yang mahal baginya ialah hubungan silaturrahim dengan sesama manusia dan ibadat kepada Tuhan.”

Menurut tinjauan sejarah turunnya Al Quran, ayat-ayat yang berbicara mengenai infak di jalan Allah dan sedekah diturunkan di Mekkah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Setelah hijrah dan tersusunnya masyarakat Islam yang menjadi sebuah negara, ayat-ayat Al Quran yang mewajibkan zakat diwahyukan Allah pada tahun kedua hijrah.

H.M.  Rasjidi dalam buku kecil “Hari Depan Peradaban Manusia” (Serial Media Da’wah no 37) menyebutkan zakat adalah suatu revolusi sosial. Sebelum Islam, pengertian sedekah adalah pemberian orang yang punya kepada orang yang tidak punya. Islam merobah konsep charity (belas kasihan) yang diberikan secara suka rela menjadi hak orang yang tidak punya. Allah berfirman, “Dan pada harta mereka ada hak untuk orang yang meminta dan yang tidak mendapat bagian.” (Adz Dzaariyaat [51]: 19).

Rasulullah pasca hijrah di Madinah tidak langsung mengganti sedekah menjadi zakat yang bisa berakibat umat Islam di masa itu melupakan sedekah. Tetapi Islam melakukan transformasi makna terhadap perbuatan menyantuni orang miskin, yaitu tidak sebatas bersifat charity saja. Dalam pendekatan bahasa, charity (Inggris) berasal dari bahasa Latin, caritas, artinya kedermawanan dan amal baik.

Hukum zakat dalam Islam mendiskresi sedekah atau charity yang dalam bahasa Arab disebut perbuatan ihsan. Dalam Islam, zakat melambangkan “hak” masyarakat” (terutama fakir, miskin, muallaf, orang yang terperangkap dalam perbudakan, orang yang terjerat utang, musafir yang kehabisan ongkos dan untuk kepentingan umum) dalam harta kekayaan perorangan yang dikuasakan kepada negara untuk menghimpun dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya.

Islam mengenalkan pengertian baru tentang sedekah yang lebih luas dan mengikat secara hukum. Zakat disebutkan dalam 32 ayat Al Quran dan sebagian besar perintah menunaikan zakat disebut setelah perintah mendirikan shalat. Setelah kewajiban zakat disyariatkan yang dalam Al Quran tetap disebut sedekah (QS At Taubah [9]: 103),  maka sedekah mempunyai dua pengertian, yaitu sedekah sunat dan sedekah wajib (zakat).

Banyak ayat dalam Al Quran dan hadits Rasullullah yang mendorong umat Islam untuk memperhatikan nasib kaum dhuafa di luar kewajiban zakat, antara lain ayat Al Quran dan hadits berikut: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS Al M a’un [107]:  1-3) “Tidak beriman seseorang yang tidur kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan.” (HR Thabrani)

“Barangsiapa tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.” (HR Hakim dan At- Thabrani).

Dalam kaitan di atas, para ulama  Islam sepakat, seperti di kemukakan  Hasbi Ash Shiddieqy dalam  Al-Islam jilid 2 bahwa selain zakat boleh diberikan kepada non-muslim,  mengingat hadits, “Pada tiap-tiap jantung yang bernafas, ada pahalanya.” (HR Bukhari). Hal itu menunjukkan Islam tidak ekslusif, tetapi memiliki wawasan kemanusiaan universal.

Kebaikan dan kedermawanan dalam timbangan Islam ukurannya bukanlah menunaikan zakat, tetapi apakah seseorang suka menolong sesama manusia dengan hartanya dan melepaskan kesulitan orang lain tanpa pamrih sebagai bukti persaudaraan Islam. Kisah menarik ketika Imam Syafi’i jatuh sakit yang membawa wafatnya di Mesir meninggalkan pesan bila ia wafat jenaz- ahnya dimandikan oleh seseorang (disebut namanya). Pada hari wafatnya mujtahid fiqih terkemuka itu tahun 204 H (820 M) usai penyelenggaraan jenazah orang yang diwasiatkan memandikan meminta buku catatan pribadi Imam Syafi’i. Dalam buku tersebut ternyata Imam Syafii mencatat punya utang kepada seseorang sebesar 70.000 dirham. Orang itu menyatakan akan melunasi utang tersebut. “Inilah cara aku memandikan beliau.” ujarnya. Kisah ini mencerminkan tingginya nilai silaturrahim dan persaudaraan di antara sesama muslim.

Bicara soal kedermawanan sebagai akhlak Islam dan sifat pemurah sebagai indikatornya Rasulullah menyatakan, “Bahwa pada setiap harta seseorang itu ada hak (orang lain), selain zakat.” (HR At-Tirmidzi). Hadits lain meriwayatkan, “Bagi hamba-hamba Allah setiap pagi turun dua malaikat, yang satu mendoakan, Ya Allah berikan ganti kepada orang yang mendermakan hartanya. Dan malaikat yang satu lagi berdoa, Ya Allah, binasakanlah harta orang yang kikir.” (HR Bukhari)

Islam mengajarkan harta adalah milik Allah, sedangkan manusia sebagai pemegang amanah diberi kebebasan dalam memiliki dan memanfaatkan hartanya sebatas yang direstui syara’. Oleh karena itu diharamkan perbuatan mubazir, membuang harta, menelantarkan harta tanpa memanfaatkannya atau memberi kesempatan pada orang lain untuk memanfaatkannya.

Tidak ada agama selain Islam yang mengajarkan bahwa harta milik perorangan merupakan sumber kehidupan bagi anggota masyarakat lainnya. Kedudukan zakat di antara ibadah yang lainnya semakin mempertegas arti ibadah dalam Islam. Ibadah tidak hanya terbatas dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi ibadah memiliki keterkaitan dengan masyarakat, seperti zakat, yang bertujuan supaya terjadi sirkulasi harta di dalam masyarakat dalam arti tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja (QS Al Hasyar [59]: 7).  Dengan kewajiban menunaikan zakat sebagai rukun Islam ketiga setelah shalat, dan anjuran mengeluarkan infak, sedekah, wakaf, hibah, wasiat dan lainnya kepada setiap muslim, pesan sentral yang ingin disampaikan Islam ialah agar umatnya menjauhi sifat mementingkan diri sendiri yang membahayakan kehidupan masyarakat, umat dan bangsa.

Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh

M. Fuad  Nasar

Wakil Sekretaris BAZNAS

Sumber : pusat.baznas.go.id

Bagikan artikel ini

Open chat
Assalamualaikum
Assalamualaikum
apa yang bisa kami lakukan untuk anda?