Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi ekonomi Indonesia dewasa ini cenderung menurun dan lesu. Baik para ekonom, pengamat, maupun rakyat biasa mengeluh seputar makin sulitnya memenuhi kebutuhan hidup belakangan ini. Merangkak-naiknya harga sembako adalah indikator termudah untuk meyakinkan kenyataan ini.
Sebagai Amil Zakat di BAZNAS kami juga merasakan hal yang serupa. Trend masyarakat miskin yang mengajukan
permohonan bantuan ke BAZNAS kian hari kian meningkat dan merata di seluruh program, utamanya yang berkaitan dengan kebutuhan pokok hidup masyarakat miskin (al-hajjah al-ashliyyah). Ini indikasi nyata tentang kondisi si fakir-miskin yang kian terjepit.
Namun ada hal yang menarik untuk ditelisik, bahwa ditengah lesunya kondisi perekonomian hari ini, dapat dikatakan tidak (atau tepatnya belum) berpengaruh signifikan terhadap penghimpunan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZNAS. Tentu perlu penelitian mendalam dan melibatkan banyak variable untuk menguji validitas dan reliabilitas hipotesis ini. Akan tetapi secara umum capaian penghimpunan dana zakat baik BAZNAS ataupun LAZNAS menunjukkan trend yang cenderung meningkat berkisar 15-30% dari tahun sebelumnya.
Kita menyadari bahwa posisi zakat belumlah dianggap setara dengan pajak di Indonesia, tidak seperti di Malaysia. Walaupun dukungan pemerintah, khususnya era SBY, kepada zakat sangat kuat minimal dengan dua indikator, yakni regulasi dan dukungan personal SBY terhadap zakat.
Hal tersebut termanifestasi dengan terbitnya UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Nasional, Peraturan Pemerintah (PP) No 14 Tahun 2014, dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang optimalisasi pengumpulan zakat di kementerian/lembaga, sekretariat jenderal lembaga negara, sekretariat jenderal komisi negara, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah melalui badan amil zakat nasional. Pun secara personal SBY mencontohkan membayar zakatnya ke BAZNAS dan menjadi Presiden pertama yang berkunjung ke kantor BAZNAS bersama jajaran menterinya.
Kepada Pengurus BAZNAS periode 2008-2015, Presiden SBY pernah mewacanakan bagaimana halnya jika zakat dimasukkan sebagai instrument pemasukkan negara sebagaimana halnya pajak. Hal ini sangat tepat khususnya dalam hal mendukung program pengentasan kemiskinan di Indonesia. Sementara kita ketahui fakta bahwa ada beberapa kementerian dan lembaga negara yang konsern dalam permasalahan pengentasan kemiskinan tapi kurang terkordinir dan seakan berjalan sendiri sendiri.
Wacana menjadikan zakat setara dengan pajak itu mungkin masih diragukan oleh segelintir orang. Ini menjadi tantangan bagi BAZNAS dan LAZNAS untuk membuktikan bahwa zakat juga mempunyai andil peranan besar dalam mengentaskan masalah negeri ini, utamanya menyangkut pengentasan kemiskinan.
BAZNAS dan LAZNAS harus sadar bahwa posisi mereka sebagai bagian atau mitra dari pemerintah. Karena seyogyanya tujuan zakat selaras bahkan berhimpitan dengan tujuan kita dalam bernegara. Singkatnya meningkatkan
manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Dari paparan di atas kian nyata bahwa BAZNAS dan LAZNAS harus mereview kembali porsi program yang bersifat produktif transformatif (empowerment) dan yang bersifat konsumtif (direct aid). Hal ini menjadi penting setidaknya dilihat dari dua hal. Pertama, Keterbatasan dana zakat. Walaupun trend penghimpunan zakat nasional meningkat,
akan tetapi masih jauh dari potensi yang ada, artinya dana zakat terbatas. Adalah arif jika dana yang terbatas itu dikelola dan disalurkan melalui program yang bertujuan untuk mentranformasi penerima zakat (mustahik) menjadi pemberi zakat (muzaki). Namun bukan berarti yang bersifat konsumtif ditiadakan sama sekali. Sebab selalu ada kelompok masyarakat dan kondisi yang membutuhkan dana yang bersifat mendesak dan darurat. Kedua, Menghindari overlapping. Program pemerintah yang bersifat bantuan tunai langsung sudah berjalan dan melibatkan berbagai kementerian. Dengan daya jangkau, jumlah anggaran, infrasturktur, dan stakeholder yang terlibat memungkinkan pemerintah untuk fokus pada kelompok masyarakat miskin yang tidak sulit untuk diberdayakan. Sehingga BAZNAS dan LAZNAS dapat memfokuskan pendistribusian dana zakat pada program
pemberdayaan.
Dari sini kita memahami bahwa zakat memiliki peran penting dalam kehidupan bernegara. Hal ini tentu menepis anggapan segelintir orang bahwa zakat adalah urusan pribadi yang bersifat mikro. Lebih jauh sebagai muslim kita meyakini bahwa zakat adalah solusi Ilahi untuk memperluas distribusi dan perputaran kekayaan ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan tujuan agar harta kekayaan itu tidak hanya berputar pada segelintir orang yang berdampak buruk bagi kehidupan sosial.
Oleh : Farid Septian S.Sos