Akhir bulan agustus 2014 ini, dunia perzakatan nasional kembali akan disibukkan oleh dua kegiatan besar yang waktunya beriringan. Yaitu, kegiatan konferensi internasional keuangan inklusif dengan fokus pada zakat dan wakaf pada tanggal 28 agustus, dan ‘working group’ internasional tentang penyusunan prinsip pengelolaan zakat, atau ‘zakat core principles’ (WG-ZCP) pada tanggal 29 agustus, yang juga akan dihadiri oleh perwakilan beberapa negara lain. Kedua kegiatan tersebut adalah hasil kerjasama antara BAZNAS, Bank Indonesia dan IDB (Islamic Development Bank).
Keterlibatan IDB dan BI ini sangat menarik, karena ternyata ada irisan yang kuat antara instrumen zakat dengan tugas dan fungsi utama IDB dan BI. Dari perspektif IDB, dengan telah dibangunnya sistem IFSAP (Islamic Financial Sector Assessment Program) sebagai alat ukur untuk menilai sehat setidaknya suatu sistem keuangan syariah di negara anggotanya, maka ‘zakat governance’ menjadi salah satu instrumen penting IFSAP karena sektor ini telah dijadikan sebagai bagian dari keseluruhan sistem keuangan syariah yang akan dinilai dan dievaluasi. Dengan kata lain, kualitas pengelolaan zakat dianggap mempengaruhi tingkat kesehatan sistem keuangan syariah di suatu negara.
Sedangkan dari perspektif BI, sektor zakat ini sangat erat kaitannya dengan pengelolaan kebijakan makroprudensial karena posisizakat yang semakin kuat dan semakin mempengaruhi stabilitas kebijakan moneter dan makroekonomi. Dengan pengalaman sebagai otoritas moneter selama ini, diharapkan BI dapat memberikan masukan dan saran yang sangat berharga dalam menyusun ‘zakat core principles’ ini, karena kita mengetahui bahwa sektor keuangan, terutama perbankan, dikenal sebagai “highly regulated industry”.
Urgensi tata kelola
Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, apa urgensinya mengatur aspek tata kelola zakat atau zakat governance ini sehingga sampai melibatkan dua institusi besar yang selama ini dikenal sebagai institusi dengan tata kelola yang ketat? Tentu ini adalah hal yang sangat menarik untuk dicermati, mengingat masih adanya persepsi publik yang menilai bahwa tata kelola perzakatan tidak sekompleks dan serumit perbankan.
Terkait dengan hal ini, paling tidak, ada dua alasan pentingnya meningkatkan kualitas zakat governance ini termasuk menstandarisasikannya pada level global.
ZCP yang akan dibahas pada pertemuan 29 agustus ini merupakan langkah progresif fundamental yang akan memberikan panduan tentang hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan kualitas pembangunan zakat. Mulai dari panduan terkait aspek manajerial operasional, hingga hal-hal yang bersifat kerangka kebijakan dan sistem perzakatan secara makro. Dengan adanya standarisasi ini, maka “bahasa” pengelolaan zakat akan sama di seluruh dunia, sama seperti “bahasa” perbankan yang serupa di setiap negara.
Sebagai contoh, dalam praktek bank manapun di seluruh dunia, pasti mereka mengenal yang namanya manajemen resiko. Bahkan identifikasi jenis-jenis resikonya pun sama, seperti resiko kredit, resiko likuiditas, resiko reputasi dan lain-lain. Inilah yang coba diadopsi oleh sektor zakat, sehingga bahasa dan istilah yang digunakan, memiliki dinamika pemahaman yang standar.
Kedua, keberadaan ‘zakat core principles’ akan menjadi sumber referensi dalam memperbandingkan kinerja pengelolaan zakat antar negara, sekaligus sebagai sarana belajar yang efektif antar negara. Setiap negara akan bisa langsung mendeteksi sisi mana saja yang perlu untuk segera diperbaiki bila kualitas pengelolaan zakatnya akan ditingkatkan. Misalnya, jika disepakati bahwa salah satu butir ZCP adalah perlunya memiliki aturan perundangundangan terkait zakat sebagai dasar hukun pengelolaan zakat, maka negara yang belum memiliki UU tersebut diharapkan dapat segera membahas dan memberlakukan UU tersebut.
Bagi BAZNAS, kegiatan WG-ZCP ini juga merupakan kehormatan dan kepercayaan, bahwa Indonesia bisa menjadi ‘leader’ dalam hal perzakatan internasional.
Wallahu a’lam.
oleh
Irfan Syauqi Beik Staf Ahli BAZNAS
sumber gambar : google.co.id