Memaknai (Kembali) Kemerdekaan dan Kesejahteraan Rakyat

August 18, 2014
Artikel

kemerdekaan-indonesia“Perjuanganku lebih mudah
karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit
karena kamu melawan bangsamu sendiri.”
(Dr (HC) Ir. H. Soekarno)

Kemarin kita memperingati hari ulang tahun ke-69 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 dan dipertahankan dalam Perang Kemerdekaan I dan II hingga Pengakuan Kedaulatan dari Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, adalah rahmat dan karunia Allah Swt.

Sejenak kita menelusuri riwayat pergerakan kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa muslim terbesar di dunia. Pergerakan rakyat Indonesia untuk kemerdekaan didorong oleh dua unsur kekuatan, yaitu; Pertama, kekuatan nasionalisme dan patriotisme. Kedua, kekuatan dan semangat ajaran Islam.

Peran ulama dan pejuang Islam yang idealis dalam perjuangan fisik mengusir penjajahan di seluruh penjuru tanah air maupun perjuangan melalui organisasi politik dan keagamaan merupakan bagian terpenting sejarah bangsa. Meminjam ucapan pahlawan nasional Dr. Ernest Douwes Dekker (Dr. Setiabudi). “Jika tidak ada agama Islam di Indonesia ini, niscaya akan lenyaplah kebangsaan Indonesia dari kepulauan ini.” Dalam buku Jatuh Bangun Pergerakan Islam di Indonesia (2011), wartawan senior H. Rosihan Anwar menyimpulkan, “Pelopor gerakan nasionalisme yang menentang kolonialisme dan imperialisme Belanda ialah Islam.”

Setelah 69 tahun Indonesia merdeka, umat Islam berkewajiban untuk mengawal peran agama yang menjadi ruh kemerdekaan bangsa. Khittah NKRI sebagai negara bangsa (nation state) yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa tidak boleh dibiarkan pudar tergerus zaman. Negara memberi kebebasan kepada setiap penduduk dalam memeluk agamanya, tetapi bukan kebebasan untuk tidak beragama.

Untuk itu esensi kemerdekaan harus kita maknai kembali dalam konteks menjaga kedaulatan negara, mengamankan hak milik nasional serta menjaga kepribadian bangsa. Selain itu, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat proklamasi yang harus tetap digemakan.

“Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.” janji Bung Karno dalam pidato tentang dasar negara Pancasila 1 Juni 1945 di Sidang BPUPKI yang bersejarah.

“Negeri belumlah makmur dan belum menjalankan keadilan sosial, apabila fakir miskin masih berkeliaran di tengah jalan dan anak-anak yang diharapkan akan menjadi tiang masyarakat di masa datang, terlantar hidupnya.” kata Bung Hatta dalam bukunya Ekonomi Terpimpin (1979).

Dalam kumpulan pemikiran Bung Hatta bertajuk “Membangun Ekonomi Indonesia” (1985), dapat dibaca pidato beliau tahun 1970 dengan judul Sesudah Dua Puluh Lima Tahun yang menyatakan; “Pada permulaan kemerdekaan kita, pemimpin-pemimpin yang idealis dan bersemangat mempunyai harapan besar dapat menghilangkan kemiskinan dari Indonesia dalam waktu kurang dari seperempat abad. Memang rakyat harus makmur hidupnya dan adanya perbedaan kemakmuran yang disebabkan oleh aktivitas bekerja dan kecerdasan pikiran harus diakui. Tetapi perbedaan yang menyolok mata harus dihilangkan dengan sistem pajak yang progresif. Tetapi setelah Indonesia Merdeka 25 tahun, kemiskinan tidak hilang, malahan bertambah. Pertentangan antara kaya dan miskin lebih menonjol, sangat menyolok mata.”

Pesan founding father Republik Indonesia di atas seyogyanya menjadi renungan dan rujukan dalam menata Indonesia ke depan.

Masalah mendasar bangsa Indonesia dewasa ini, selain masalah pendidikan, akhlak, karakter bangsa, dan ketaatan pada hukum, adalah masalah kemiskinan. Walaupun Indonesia kini tergolong negara dengan pertumbuhan kelas menengah tertinggi di antara negara-negara di kawasan Asia, namun sungguh amat dirasakan kemiskinan masih menjadi masalah serius bangsa ini. Selain kemajuan dan hasil-hasil positif pembangunan, masih banyak rakyat kecil yang belum menikmati hasil kemerdekaan seutuhnya. Prof. Dr. Juwono Sudarsono, Guru Besar FISIP UI dan mantan Menteri Pertahanan RI, beberapa tahun lalu mensinyalir hanya sekitar 10 persen penduduk Indonesia yang bisa menikmati demokrasi, yaitu yang kondisi ekonominya sudah mapan.

Esensi kemerdekaan bukan hanya sekedar memerdekakan tanah air dari cengkraman Imperialisme dan Kolonialisme sebagai bentuk penjajahan konvensional. Penjajahan ekonomi sebagai bentuk penjajahan modern, yang disebut oleh Bung Hatta “lebih berbahaya daripada penjajahan politik”, harus dapat kita tangkal dan antisipasi. Jika kita memahami cita-cita perjuangan bangsa, sejatinya perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya bertujuan untuk memerdekakan seluruh rakyat dari segala bentuk penjajahan, tapi juga merdeka dari ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, keserakahan, penistaan martabat manusia, dan ketiadaan hak menentukan nasib sendiri.

Seorang muslim yang mengeluarkan zakat hartanya karena melaksanakan perintah Allah dan gemar melakukan amal sosial, berarti ikut memberi sumbangan untuk membangun kesejahteraan rakyat dalam rangka mengisi kemerdekaan. Sistem zakat dalam Islam tidak diragukan lagi adalah sejalan dengan “demokrasi ekonomi” dan “pajak progresif” yang dikehendaki oleh Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta. Semakin besar nilai kekayaan dan pendapatan seseorang, makin banyak zakat yang dapat disumbangkan untuk kesejahteraan fakir miskin dan kepentingan umum.

Semoga Allah senantiasa memberkati kemerdekaan Indonesia.

Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh M. Fuad Nasar
Wakil Sekretaris BAZNAS

sumber : pusat.baznas.go.id

Bagikan artikel ini

Open chat
Assalamualaikum
Assalamualaikum
apa yang bisa kami lakukan untuk anda?