Tanggal 28-29 Mei 2014 ini, World Zakat Forum (WZF) bekerjasama dengan BAZNAS dan Nusantara Foundation, menyelenggarakan konferensi zakatinternasional di kota New York, Amerika Serikat. Tema yang diangkat adalah Zakat for Global Welfare. Sejumlah negara, baik dari kawasan Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, dan benua Amerika sendiri, dijadwalkan hadir dalam kegiatan ini.
Ada tiga hal mendasar yang membuat konferensi ini memiliki nilai yang strategis. Pertama, dipilihnya tema terkait kesejahteraan karena memang topik kesejahteraan ini merupakan isu yang sangat penting dalam konteks perekonomian global hari. Hal ini dikarenakan oleh kegagalan dunia secara kolektif untuk menurunkan angka kemiskinan menjadi separuh pada tahun 2015. Padahal penurunan angka ini merupakan amanat konferensi tingkat tinggi PBB pada tahun 1991 yang menetapkan target pembangunan millenium atau MDGs. Yang ada justru angka kemiskinan ini semakin meningkat akibat krisis global berkepanjangan. Hingga saat ini, kondisi pasar keuangan global masih berada pada situasi yang tidak menentu dan rentan terhadap krisis lanjutan yang lebih parah.
Fakta lainnya adalah tingkat kesenjangan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Data ILO menunjukkan bahwa share kelompok buruh miskin terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB) mengalami penurunan di semua kawasan di seluruh dunia. Di negara-negara maju, share mereka turun rata-rata sebesar 9 persen. Untuk negara-negara berkembang di kawasan Asia, kontribusi kelompok ini turun dengan prosentase rata-rata 13 persen. Bahkan khusus kasus Indonesia, bukan hanya share buruh miskin terhadap PDB yang turun, namun kesenjangan secara umum mengalami peningkatan, dan di tahun 2013 lalu telah menembus angka 0,419.
Fakta-fakta di atas memberikan indikasi bahwa perlu perbaikan konsep pembangunan suatu bangsa agar pertumbuhan ekonomi yang ada bisa memberikan efek positif kepada semua lapisan masyarakat dan melahirkan kesejahteraan bersama. Bukan malah memperlebar kesenjangan yang ada. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan instrumen zakat, sebagai institusi yang menjamin adanya aliran kekayaan dari kelompok the have kepada kelompok the have not.
Kedua, dipilihnya New York dengan sejumlah alasan, yaitu : (1) sebagai respon atas permintaan masyarakat muslim di AS, dan (2), secara filosofis, ini adalah upaya ‘sosialisasi strategis’ di jantung kapitalisme dunia. Ini menjadi penting, apalagi salah seorang peraih Nobel ekonomi, Prof Joseph Stiglizt, telah menegaskan bahwa sistem keuangan dunia saat ini perlu dirombak total karena sistem yang ada hanya membuat aliran keuangan berputar dari kelompok kaya yang satu kepada kelompok kaya yang lain. Persis seperti yang telah diingatkan dalam QS 59 : 7.
Ketiga, konferensi zakat ini diharapkan menjadi media untuk memperkuat kerjasama global lintas negara. Hal ini sangat penting mengingat potensi zakat dunia yang sangat luar biasa besar. Terkait dengan upaya penguatan kerjasama zakat secara global ini, penulis melihat ada tiga isu penting yang perlu diselesaikan dengan baik melalui forum WZF ini.
Pertama, pentingnya melakukan standarisasi pengelolaan zakat, baik dari sisi penghimpunan, penyaluran, hingga masalah pertanggungjawaban dan akuntansi keuangannya. Ini menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan, agar setiap negara memiliki kesamaan sistem dan mekanisme.
Kedua, pentingnya melakukan standarisasi dari sisi fiqh zakat. Hal ini sangat urgen dilakukan karena perbedaan fiqh zakat antar negara dapat menciptakan hambatan dalam mendorong proses sinergi yang dilakukan.
Ketiga, para pegiat zakat harus meyakinkan dunia internasional bahwa praktek zakat saat ini juga “in line” dengan hukum internasional, terutama persoalan money laundring dan anti terorisme. Ini juga harus dilakukan mengingat setiap pergerakan uang dalam jumlah besar dari satu negara ke negara lain pasti mendapatkan pantauan dari AS dan sekutu-sekutunya. Namun perlu diingatkan, bahwa kita sama sekali tidak takut terhadap intervensi Barat.
Wallahu a’lam
Irfan Syauqi Beik
Staf Ahli BAZNAS
Sumber : pusat.baznas.go.id