Assalamu’alaikum wr. wb.
Setiap tahun pada malam 27 Rajab di seluruh Dunia Islam selalu diperingati Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Peristiwa dan mukjizat terbesar yang disebut oleh Dr. Wahbah Zuhaily sebagai suatu “perjalanan Ilahiyah” yang tiada bandingnya dan hanya berlaku satu kali di dalam sejarah. Tidak pernah ada di dalam sejarah kemanusiaan suatu peristiwa yang berhak untuk dibanggakan dan dikagumui, diagungkan dan dianggap suci seperti halnya Isra’ dan Mi’raj yang menjadi mukjizat, lambang kebesaran dan kehormatan bagi Nabi-Rasul Islam, Muhammad Saw.”
Dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah menerima perintah shalat lima waktu dari Allah SWT. Hanya shalat satu-satunya syariat Islam yang diterima Rasulullah tanpa melalui malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu yang terpercaya.
Dalam Al Quran, ayat yang berisi perintah mendirikan shalat selalu dirangkaikan dengan perintah menunaikan zakat. Zakat merupakan fardhu ‘ainy atau wajib ‘ainy, yaitu kewajiban setiap muslim yang memiliki harta (kekayaan), sama seperti shalat yang menjadi fardhu ‘ainy atas setiap muslim yang mukallaf (mengemban kewajiban syariah) dan berakal sehat. Perbedaannya adalah zakat diwajibkan khusus atas orang Islam yang memiliki harta/penghasilan mencapai nishab, sedangkan shalat diwajibkan atas setiap muslim tanpa membedakan kaya atau miskin. Shalat dan zakat merupakan arkanul Islam yang tidak terpisahkan menuju keberagamaan paripurna. Shalat dan zakat adalah ibadah yang memiliki peran penting dalam pembangunan pribadi dan masyarakat yang bersih dan sejahtera. Shalat dan zakat pada hakikatnya menekankan kesucian hati, pikiran, harta dan jalan hidup seorang muslim.
K.H. Muchtar Natsir (alm), mantan Imam Besar Masjid Istiqlal dalam buku Mengapa Kita Wajib Membayar Zakat? (Departemen Agama: 1973) menukilkan, zakat disebutkan dalam kurang lebih 32 ayat Al Quran, dan kebanyakan perintah menunaikan zakat itu adalah setelah perintah melakukan shalat. Rasulullah SAW mewasiatkan zakat itu dalam banyak hadist-hadist beliau, di antaranya pada satu ketika Nabi berdiri di hadapan orang banyak dan bersabda:
“Hai manusia! Sesungguhnya aku didatangi wahyu dalam mimpi. Allah berkata: Hai Muhammad! Tidaklah diterima shalat mereka yang tidak menunaikan zakat. Dan tidaklah diterima zakat mereka yang tidak mendirikan shalat. Orang yang membangkang tidak mau menunaikan zakat itu akan masuk dalam neraka. Dan yang melanggar perintah zakat itu sama dengan tidak mau menunaikannya.”
Kewajiban shalat dan zakat tidak dapat dipisahkan dalam pemaknaan dan hikmahnya. Hadis Rasulullah menyatakan, “Tidaklah diterima shalat mereka yang tidak menunaikan zakat.” Shalat melambangkan sikap mengabdi secara total kepada Allah dengan jiwa dan raga, sementara zakat melambangkan sikap mengabdikan diri kepada Allah dengan harta kekayaan.
Islam memposisikan zakat sebagai ibadah yang mempunyai dimensi sosial atau ibadah maliyah ijtima’iyah. Penyebutan ibadah maliyah ijtima’iyah memiliki latar belakang yang bersifat substantif, dimana zakat merefleksikan nilai hidup manusia sebagai pribadi, jamaah, serta mencakup kepentingan agama, negara dan perjuangan.
Menarik disimak cendekiawan muslim internasional Dr. Umer Chapra mengemukakan, negara muslim yang ingin mencapai posisi ideal sekurangnya harus persyaratan berikut: Pertama, meningkatkan derajat spiritual masyarakat Islam, menekan moral bobrok dan korupsi. Kedua, mempunyai rasa tanggungjawab untuk mensejahterakan masyarakat secara ekonomis dan keterbatasan sumber yang dimiliki. Ketiga, menjamin keadilan yang merata dan mengikis habis berbagai macam eksploitasi.
Dalam konteks ini, zakat memancarkan keunggulan ajaran Islam, yaitu di samping menghormati hak milik perseorangan, Islam menetapkan bagian tertentu dari kekayaan yang menjadi hak orang lain. Pemerintah diperintahkan untuk mengambil bagian tertentu dari kekayaan perseorangan untuk dipergunakan sebagai shadaqah (zakat) yang mensucikan jiwa, harta dan masyarakat sekitarnya.
Dewasa ini, harta obyek zakat tidak hanya meliputi zakat hasil pertanian yang menjadi makanan pokok, hewan ternak, perdagangan, emas dan perak serta harta terpendam (rikaz). Tetapi meliputi zakat atas penghasilan dari gaji, hasil kerja dan profesi, zakat perusahaan, zakat obligasi, zakat uang simpanan (tabungan dan deposito), zakat hasil kekayaan laut, dan lain-lain. Islam mendorong umatnya agar rajin bekerja dan berusaha sehingga menjadi pembayar zakat (muzaki), dan bukan menjadi penerima zakat (mustahiq), kecuali dalam kondisi terpaksa.
Zakat, infak, sedekah, dan wakaf adalah simbol-simbol kekuatan dan kemandirian umat Islam yang harus dibesarkan. Simbol-simbol itu terkait dengan kemiskinan dan perekonomian umat. Mengutip ungkapan almarhum HS Prodjokusumo, mantan Sekretaris Umum MUI dan tokoh Muhammadiyah; ketika kita bicara masalah kemiskinan dan ekonomi umat, maka tidak ada khilafiyah, tidak ada perbedaan mazhab, dan tidak bicara NU dan Muhammadiyah, melainkan masalah umat dan kepentingan umat Islam secara keseluruhan.
Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh M. Fuad Nasar Wakil Sekretaris BAZNAS