Secara eksplisit di dalam Al Quran dan Sunnah Rasul banyak ditemukan perintah untuk menegakkan keadilan. Islam menghendaki agar setiap orang menikmati hak-haknya sebagai manusia dengan memperoleh pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar, yakni terjaminnya keselamatan agamanya, keselamatan dirinya (jiwa, raga, dan kehormatannya), keselamatan akalnya, keselamatan harta bendanya, dan keselamatan nasab keturunannya. Sarana pokok yang menjamin terlaksananya hal-hal tersebut adalah tegaknya keadilan (al-adl) di dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Di dalam Al Quran surat An Nahl ayat 90 dikemukakan tiga perintah utama yang harus ditegakkan jika kita ingin membangun kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara secara baik, yaitu adil, ihsan, dan memperkuat hubungan persaudaraan. Sebaliknya, ada tiga perbuatan merusak yang harus dijauhi karena akan menghancurkan tatanan kehidupan sosial, yaitu fahsya’ (perbuatan keji), mungkar, dan kezaliman. Dalam mengomentari ayat tersebut, sahabat nabi yaitu Abdullah bin Mas’ud Radhiallahuanhu menyatakan bahwa surat An Nahl ayat 90 adalah ayat yang mencakup semua perintah dan larangan di dalam Islam. Semua perbuatan baik yang diperintahkan pada dasarnya kembali kepada tiga hal tersebut, demikian pula semua yang dilarang kembali kepada tiga perbuatan merusak tersebut.
Salah satu aspek keadilan yang wajib ditegakkan ialah keadilan dalam bidang ekonomi. Keadilan ekonomi pada prinsipnya ialah harta tidak boleh hanya terkonsentrasi dan beredar hanya pada kelompok aghniya’ (golongan kaya) saja, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Hasyr ayat 7. Jika terjadi pemusatan kekayaan pada sekelompok orang, maka akan timbul ketimpangan sosial, akan terjadi kemiskinan dan proses pemiskinan.
Islam memandang bahwa kemunduran kaum muslimin bukan hanya terletak pada kejahilan terhadap syariat Islam saja, tetapi juga pada ketimpangan struktur ekonomi dan sosial. Ini dilukiskan oleh Al Quran ketika menjelaskan bahwa kemiskinan itu bukanlah semata-mata diakibatkan oleh kemalasan individual, melainkan disebabkan karena tidak adanya usaha bersama untuk membantu kelompok lemah, adanya kelompok yang memakan kekayaan alam dengan rakus dan mencintai kekayaan dengan kecintaan yang berlebihan (QS Al Fajr: 17-20).
Kemiskinan dan keterbelakangan umat adalah tanggungjawab bersama untuk menanggulanginya. Ini ditegaskan berulang kali dalam Al Quran maupun Sunnah Rasul, seperti dalam beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, menolong dan membela manusia yang lemah (mustadh’afin) adalah salah satu sifat
calon penghuni surga (QS Al Ma’arij: 24-25).
Kedua, mengabaikan golongan fakir dan miskin, acuh tak acuh terhadap mereka, dan enggan memberikan pertolongan dianggap sebagai mendustakan agama (QS Al Ma’un: 1-3).
Ketiga, Rasulullah SAW menyatakan bahwa keberpihakan terhadap golongan dhuafa akan mengantarkan perjuangan umat Islam mendapatkan pertolongan dari Allah SWT.
Dalam sejarah kita temukan Khalifah Umar bin Abdul Aziz berhasil membangun kemakmuran rakyatnya melalui institusi zakat dalam waktu relatif singkat, di samping melalui penegakan amanah dan keadilan yang ditegakkan oleh para aparatnya. Sejalan dengan itu, menarik untuk dikaji, ungkapan ahli sosiologi seperti Lappe, Collins dan George yang menyatakan bahwa pengamatan yang cermat terhadap situasi yang terjadi di dunia saat ini, menunjukkan betapa pola ketidakadilan dan penghisapan yang berakar dalam, baik yang tumbuh di dalam negeri maupun yang diimpor dari luar negeri telah merintangi orang miskin untuk mencukupi kebutuhan pangannya.
Oleh karena itu, rasa keadilan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus benar benar ditumbuhkan dan diusahakan sampai tingkat yang maksimal, mulai dari lingkungan yang kecil (rumah tangga) sampai kepada lingkungan yang besar dalam semua bidang kehidupan, agar kemakmuran yang dicita-citakan semakin mendekat pada kenyataan.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Oleh
Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, M.Sc
Ketua Umum BAZNAS
Sumber : pusat.baznas.go.id