Dalam acara tasyakuran milad ke-13 Badan Amil Zakat Nasional yang dipusatkan di Balikpapan pekan lalu, terbersit satu tekad kuat BAZNAS beserta seluruh komunitas perzakatan nasional, yaitu bagaimana secara bersama-sama memperkuat integrasi database mustahik. Integrasi database ini menjadi isu yang sangat penting, karena akan sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan zakat nasional ke depannya.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pentingnya integrasi ini. Pertama, perlu disadari bahwa ayat tentang penyaluran zakat (QS 9:60) muncul lebih dulu dibandingkan dengan ayat tentang penghimpunan zakat (QS 9:103). Ini menunjukkan bahwa indikator keberhasilan pembangunan zakat, di samping aspek penghimpunan dana zakat, juga sangat ditentukan oleh aspek pendayagunaan dan pendistribusian zakat. Karena itu, ketersediaan database mustahik yang valid dan terpercaya, menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak.
Kedua, integrasi database mustahik diperlukan sebagai bagian dari upaya untuk menjamin ketepatan penyaluran zakat. Juga untuk menghindari adanya tumpang tindih dan penumpukan dana zakat di tangan sekelompok mustahik. Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa di Jakarta, BAZNAS berhasil mengidentifikasi “kelompok tertentu” yang menjadikan kaum miskin sebagai sumber eksploitasi untuk mendapatkan dana zakat, dan mereka sering berpindah dari satu lembaga ke lembaga lainnya. Bukan tidak mungkin hal tersebut terjadi di daerah. Karena itu, dengan adanya database yang terintegrasi, penulis yakin, hal-hal seperti ini akan dapat kita eliminasi.
Ketiga, database mustahik yang terintegrasi merupakan referensi utama data kemiskinan yang menjadi panduan program zakat, sekaligus sebagai rujukan bagi stakeholder lain dalam menilai kualitas dan efektivitas program penyaluran zakat. Bagi pemerintah, dapat diketahui siapa saja penerima zakat sehingga bisa diintegrasikan dengan program pengentasan kemiskinan pemerintah yang lain. Dalam konteks audit program, database ini bisa digunakan sebagai sarana untuk memverifikasi kebenaran informasi mustahik.
Pendeknya, ada banyak manfaat yang didapat dari keberadaan database ini. Oleh karena itu, yang diperlukan sekarang ini adalah bagaimana langkah kongkrit yang harus dilakukan, agar cita-cita integrasi database ini dapat kita wujudkan.
Pertama, perlunya menyusun standar definisi dan kriteria kemiskinan yang disepakati oleh komunitas perzakatan. Standar ini tidak boleh bertentangan dengan syariah dan aturan negara yang ada. Dengan demikian, harus aman secara syar’i dan aman secara regulasi.
Pada acara milad BAZNAS tersebut, sejumlah lembaga telah melakukan ‘sharing’ mengenai penetapan kriteria kemiskinan dan metode untuk menghitungnya. Di antaranya adalah BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional). Dalam menetapkan kriteria kemiskinan, BKKBN menetapkan keluarga sebagai satuan unit analisis, berbeda dengan BPS yang menggunakan individu sebagai satuan unit analisisnya.
Kemudian BKKBN mengelompokkan keluarga-keluarga ini ke dalam sejumlah kategori, yaitu keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan III plus. Klasifikasi ini didasarkan pada sejumlah indikator, dimana BKKBN menggabungkan kriteria yang bersifat fisik dengan kriteria non fisik, seperti akses terhadap pelaksanaan ibadah.
Yang disebut miskin dan perlu mendapat bantuan adalah mereka yang termasuk ke dalam kategori keluarga pra sejahtera dan KS 1. BAZNAS dapat memanfaatkan data BKKBN ini sebagai langkah awal membangun database mustahik, sehingga tidak mulai dari nol.
Langkah kedua adalah membangun sistem teknologi informasi yang mendukung integrasi database ini. Tanpa dukungan sistem IT, mustahil integrasi database ini dapat dilakukan. Dalam konteks ini, SIMBA (Sistem Informasi Manajemen BAZNAS), sebagai basis sistem pengelolaan zakat nasional ke depan, merupakan media yang harus dioptimalkan.
Oleh Irfan Syauqi Beik Staf Ahli BAZNAS Sumber : pusat.baznas.go.id